Mahligai Keloyang, Asal Mula Nama Kelayang
Riau - Indonesia
Kelayang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Indonesia. Dulu, Kelayang adalah nama sebuah desa yang dikenal dengan Keloyang, sedangkan Keloyang berasal dari Kolam Loyang. Konon, pada zaman dahulu kala, Kolam Loyang ini merupakan tempat sekumpulan bidadari dari kayangan yang bisa terbang melayang. Setiap malam bulan purnama, para bidadari tersebut datang ke Kolam Loyang itu untuk mandi. Suatu ketika, seorang Datuk dari Kerajaan Indragiri bernama Datuk Sakti menghiliri Sungai Keruh (sekarang Sungai Indragiri) untuk melihat keadaan rakyatnya. Karena kelelahan, ia pun beristirahat di bawah sebuah pohon di tepi Kolam Loyang. Tiba-tiba, sekumpulan bidadari yang hendak mandi di Kolam Loyang turun dari kayangan. Datuk Sakti terpana melihat kecantikan para bidadari itu. Ia kemudian berpikir untuk memperistri salah satu di antara bidadari itu. Dengan berbagai usaha, Datuk Sakti berhasil menikahi bidadari itu. Namun, akhirnya mereka berpisah. Apa saja usaha-usaha Datuk Sakti tersebut? Bagaimana Datuk Sakti berpisah dengan bidadari itu? Temukan jawabannya dalam cerita Mahligai Keloyang.
Pada suatu masa, Kerajaan Indragiri mengalami zaman keemasannya. Ibukota kerajaan yang menjadi pusat pemerintahan berada di Japura. Semula Japura bernama Rajapura. Rakyat Indragiri hidup dengan sejahtera, tenteram, dan damai. Para datuk memimpin dengan baik dan menjadi teladan bagi seluruh penduduk negeri.
Suatu hari, salah seorang datuk yang bernama Datuk Sakti, pergi menghiliri Sungai Indragiri. Saat itu Sungai Indragiri masih bernama Sungai Keruh. Datuk Sakti ingin melihat kehidupan rakyatnya yang hidup di sepanjang sungai tersebut.
Menjelang sore, Datuk Sakti menaiki sebuah tebing untuk mencari tempat beristirahat. Datuk Sakti kemudian memasuki hutan di dekat sungai. Sampailah dia di tepi sebuah kolam.
Air kolam itu sangat jernih, tenang, dan cemerlang bak loyang. Ketika Datuk Sakti sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon besar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sekumpulan wanita cantik yang terbang turun dari angkasa. Datuk Sakti terperanjat bukan alang kepalang. “Amboi, elok sangat gadis-gadis itu. Apakah saya ini mimpi?” gumam Datuk Sakti sambil mengusap-usap matanya. “Ah, ini bukan mimpi,” ia gumam lagi untuk meyakinkan dirinya kalau yang dilihatnya itu benar-benar nyata. Ternyata benar, apa yang dilihatnya sungguhlah nyata.
Dari balik pohon Datuk Sakti menyaksikan para bidadari itu melepas pakaian mereka yang indah, dan meletakkannya di pinggir kolam. “Aduhai, sungguh mempesona tubuh para bidadari itu,” ucap Datuk Sakti kagum.
Para bidadari itu kemudian mandi dengan riang gembira, sambil bercanda dan bernyanyi. Suara mereka merdu bak buluh perindu, menghanyutkan hati bagi siapa saja yang mendengar.
Air kolam berkecipak berkilauan, memantulkan sinar matahari sore yang berwarna kuning keemasan.
Menjelang senja tiba, usailah para bidadari mandi. Mereka mengenakan pakaiannya kembali, dan secepat kilat terbang ke angkasa. Datuk Sakti yang terpukau segera tersadar. “Alangkah bahagianya kalau aku memiliki istri salah satu bidadari itu,” pikir Datuk Sakti.
Datuk Sakti termenung, memikirkan cara menangkap salah satu bidadari tersebut. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Senja itu adalah malam bulan purnama penuh, tentulah pada purnama berikutnya para bidadari akan datang lagi. Sepurnama itu Datuk Sakti terus berdoa. “Doa akan merubah retak tangan yang telah digariskan Tuhan,” pikir Datuk Sakti. Dia puasa tujuh hari, mandi limau tujuh pagi tujuh petang, untuk membersihkan dirinya lahir batin.
Pada purnama berikutnya, Datuk Sakti bergegas pergi kembali ke Kolam Loyang tempat para bidadari mandi. Dia bersembunyi di balik semak yang rapat. Dia sangat berhati-hati sekali jangan sampai ketahuan oleh bidadari tersebut.
“Wah, aku harus berhati-hati. Jangan sampai ketahuan oleh mereka. Kalau mereka tahu, hancurlah harapanku selama ini,” katanya bertekad dalam hati. Benarlah! Menjelang sore, langit kemilau oleh cahaya terang yang mengiringi kedatangan para bidadari. Sebagaimana biasa, mereka menanggalkan pakaian dan mencebur ke dalam kolam, bersuka ria. Tengah para bidadari berkecipak-kecipung di air, Datuk Sakti diam-diam mengambil salah satu selendang yang ada di dekatnya.
Setelah senja, para bidadari tersebut mengenakan kembali pakaiannya. Tetapi, ada satu bidadari yang tidak menemukan selendangnya. Bidadari-bidadari lain tidak dapat menolongnya. Mereka harus kembali sebelum malam turun. Bidadari yang kehilangan selendang itu terpaksa mereka tinggalkan. Bidadari itu pun menangis tersedu-sedu dengan sedihnya. Tangisannya menusuk kalbu siapa saja yang mendengarnya.
Datuk Sakti keluar dari persembunyiannya, dan mendekati bidadari malang tersebut. “Wahai Bidadari cantik, ada apa gerangan kamu menangis?” sapa Datuk Sakti.
“Tuan, apabila Tuan mengetahui selendang saya, hamba mohon kembalikanlah selendang itu,” pinta Bidadari itu.
Datuk Sakti mengeluarkan selendang itu dari balik punggungnya, lalu berkata, “Aku akan mengembalikan selendang kamu tetapi dengan syarat, kamu bersedia menjadi istriku.” Dengan senyum yang tulus, sang Bidadari menjawab, “Ya, saya berjanji bersedia menikah dengan Tuan, asalkan Tuan sanggup berjanji pula untuk tidak menceritakan asal-asulku dan peristiwa ini kepada orang lain. Jika Tuan melanggar janji, berarti kita akan bercerai.” Syarat yang diajukan sang Bidadari sangatlah ringan bagi Datuk Sakti. “Baiklah, saya bersedia mengingat janji itu,” jawab Datuk Sakti. Lalu, Datuk Sakti membawa Bidadari itu ke rumahnya.
Masa berlalu. Mereka menikah dan hidup berbahagia. Tiada berapa lama, bidadari itu melahirkan anak laki-laki, disusul anak perempuan. Anak-anak itu tumbuh sehat, cerdas, dan rupawan. Datuk Sakti melatih anak laki-lakinya hingga tangkas bersilat, berburu, berniaga, dan berlayar.
Sang Bidadari mengajari anak perempuannya menenun, memasak, merawat rumah, dan bertanam padi.
Keluarga Datuk Sakti terlihat sempurna. Semua orang kagum dan memuji kecantikan paras, keelokan perilaku, serta kepandaian sang Bidadari. Datuk Sakti sangat bangga akan istrinya, hingga lupa dengan janjinya pada sang Bidadari. Tanpa sadar, dia bercerita bahwa istrinya adalah bidadari dari kahyangan. Dia menangkapnya saat mandi di Kolam Loyang.
Setelah mendengar cerita Datuk Sakti, pada setiap malam purnama orang-orang berduyun-duyun ke Kolam Loyang untuk berburu bidadari.
Mereka bersaing, berebut, bahkan saling bertikai untuk mendapatkan semak lebat yang terdekat dengan kolam. Tetapi mereka pulang dengan tangan hampa, karena semenjak ada salah satu bidadari kehilangan selendang, para bidadari yang lain tidak berani lagi mandi di Kolam Loyang.
Mengetahui Datuk Sakti telah melanggar janjinya, sang Bidadari sangat sedih dan marah. Sambil menangis dia mengambil selendangnya. “Karena rahasia kita telah Kakanda bongkar, aku akan kembali ke langit.
Tolong pelihara putra-putri kita, agar menjadi orang yang berguna. Selamat tinggal,” sang Bidadari pamit, lalu terbang ke angkasa. Sejak saat itu, sang Bidadari tidak pernah lagi kembali ke Kolam Loyang mand-mandi.
Datuk Sakti sangat sedih dan menyesal, tetapi nasi telah menjadi bubur. Akhirnya dia menerima takdirnya dan membesarkan anak-anaknya dengan baik. Kedua anak itu tumbuh menjadi jejaka dan gadis yang rupawan, pandai, dan baik budi. Semua orang menyukai mereka. Pada setiap malam purnama, Dauk Sakti dan putra-putrinya pergi ke Kolam Loyang untuk mengenang ibundanya. Mereka juga berdoa agar sang Bidadari bahagia di kahyangan.
Sejak peristiwa tersebut, desa tempat mereka hidup itu kemudian mereka beri nama Keloyang, yaitu diambil dari kata Kolam Loyang. Saat ini, desa tersebut telah berkembang dan dikenal dengan nama Kelayang, salah satu nama kecamatan di Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau, Indonesia.
Kelayang dibentuk menjadi kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 1995. Di samping itu, juga terdapat sebuah desa yang bernama Kelayang di wilayah Kecamatan Kelayang.
Hingga kini, pemerintah daerah Indragiri Hulu telah mengeluarkan kebijakan sebagai upaya untuk menghargai dan melestarikan Kolam Loyang di Kecamatan Kelayang, karena Kolam Loyang ini merupakan icon kebudayaan masyarakat di daerah itu. (SM/sas/7/07-07).
Sumber :
- Isi cerita disadur dari Mahyudin Al Mudra dan Tuti Sumarningsih. Mahligai Keloyang: Asal Mula Nama Kelayang. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2005.
- Elmustian Rahman. Cerita Rakyat Indragiri Hulu: Mahligai Keloyang dan Sejumlah Cerita Lainnya. Pekanbaru: Unri Press, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar